Sumber Gambar : Google. |
Post-Power-Syndrome , adalah suatu gejala dimana banyak
orang mengalami gangguan psychologis
saat memasuki masa pensiun.
Merasa tidak bahagia, stress
sampai depresi , yang dihantui
oleh bayang2 kejayaan kesuksesannya
dimasa lalu .
Merasa kecewa berat , penyakitpun mulai berdatangan
Solusinya : awal2 , kita harus mengerti/faham , bahwa
tidak ada sesuatupun di dunia ini yang abadi .
Segala kejayaan dan sukses , anggap saja sebagai jalan yang
harus kita lalui , dan kemudian kita tinggalkan dengan ikhlas/legowo , jika
sudah waktunya.
Beberapa hal yang saya tulis, mungkin bisa untuk persiapan
anda , atau ancang2/paduan, jika suatu
kali sudah sampai masa pensiun .
Beberapa prilaku para
penderita PPS , saya rekap sesuai dengan
“ kacamata “ saya.
Dengan harapan para
pensiunan jangan sampai menderita PPS,
yang menyedihkan.
Jika ngambil pensiun, saya biasa suka memperhatikan
kiri-kanan keadaan sekitar , disebuah kantor pos.
Asyik juga melihat perilaku para sepuh yang sudah purna tugas ini.
Sebuah mobil parkir, dan seorang pria muda keluar dan
langsung membuka bagasi mobil.
Mengeluarkan kursi roda dan membukanya.
Didorong dan membuka pintu mobil dengan pelan.
Diapun menolong seorang ibu sepuh untuk pindah tempat
kekursi roda itu , dibantu wanita muda sepantaran.
Indahnya pemandangan itu, meskipun lembut, rasanya ada yang
runtuh dihati ini.
Saya tersentuh, terpesona dan tertegun.
Sayapun menyapa ibu itu , yang ternyata ex. salah satu
pejabat disuatu departemen.
Umur beliau hampir 70 tahun, beliau heran waktu mengerti umur saya sepantaran dengan beliau.
Kata beliau , saya masih tampak sehat , muda ( dibanding
umurnya “kale ) , dan cantik,….. wuih .
Pasti sepulang dari pensiunan , saya harus mengaca ulang
dicermin,… wkwkwk.
Sayapun bercerita, bahwa pernah sakit parah, 3 hari di ICU
dan 20 hari dirawat.
Nyawa sudah diujung tanduk, tetapi meskipun sudah antri,
karena tidak kebagian tempat duduk dipesawat yang mau terbang ‘ kesana “, saya ketinggalan.
Beliau ter-kikik2 mendengar cerita saya, senang melihat beliau bisa tertawa.
Tapi menurut beliau, sudah nggak kerasan hidup, sakit
terus2-an.
Sayapun bercerita, jika
usia harapan hidup sekarang lebih panjang .
Kalau dulu cuma 75-an , kemudian 85 –an, sekarang menurut penelitian
terakhir bisa sampai 125 tahun lho , jadi jangan putus asa , harus tetap
semangat.
Sebelum saya tinggalkan beliau, saya ajak dulu , … toz ! ,
dan dua jempol saya acungkan,
--- ayo , tetap
semangat , girl !… Beliau tertawa dan
ganti ngacungkan dua jempol.
Belum lama duduk, seorang laki2 yang sudah amat sepuh masuk
perlahan.
Badanya kurus, kelihatan kurang sehat , seperti
ter-huyung2/sepoyongan dan gemetar.
Duduk seperti jatuh, didekat saya , tidak tampak ada
pengantar.
Saya sapa beliau
: “ Pengantarnya belum masuk pak ? “
“ Oh, saya sendirian,
kemana-mana bisa sendiri , nggak pernah ada yang ngantar ! “.
Lalu tanpa ditanya beliau bercerita , umurnya 76 tahun, dan
dari dinas militer khusus.
Seorang pelatih militer yang sudah tugas ke-mana2 dan bla
bla bla , pokoknya huebaat.
Tiba2 : “ Nah, sikap
seperti itu, tidak boleh di militer , nanti membuat kakinya bengkok,.. tidak
bisa masuk militer ! “ beliau mengeritik seorang anak kecil yang
digendong neneknya , pensiunan juga.
“ Dia tidak pengin jadi militer kok, tapi jadi pegawai
negeri ! “ si-nenek juga tidak kalah ketusnya menjawab, langsung meninggalkan
tempat duduknya.
Dan pak militer terus ada saja yang dikritik, sepertinya
tidak ada yang betul.
Kami disekitar beliau2 itu saling berpandangan dan saling
tersenyum , dan saya tahu, pikiran kita sama.
Pantas saja anaknya nggak ada yang mau ngantar, pasti pada
kabur semua, dikritik terus2-an.
“ Ma, disana ada tempat duduk, dimuka lebih enak “ , anak
saya datang menolong , untuk saya bisa menghindar dari tempat itu.
Saya langsung angkat kaki dari situ , anak saya ketawa.
Dia tahu mamanya pasti kebisingan dengar cerita bapak
militer tadi yang terus2-an kasih komen negative apapun.
Baru saja duduk, ada seorang bapak dengan baju safari biru
tua, lengkap dengan atribut dinasnya yang masih mengkilat.
“ No – iku takokno, kapan gaji limolase metu ! “ , dia memerintah dengan suara
baritonnya. ( No – itu
tanyakan , kapan gaji ke-15-nya keluar
! ).
Kami semua saling
berpandangan, bahkan bapak/ibu pembayar gaji ikut menjawab.
“ Nggak ada gaji ke-15 pak , gaji ke-13 aja belum keluar “.
Kami semua ketawa , beliaunya menggumam , tak jelas.
Beliaupun mencari tempat duduk, dideretan belakang tempat
saya duduk , diiring putrinya yang tampak risih , karena beliau juga terus2-an
mengeluh dan memberi perintah2 pada si-No , mungkin sopirnya.
Batuk2 terdengar , yang ace-nya tepat diatasnya macam2 dan
berisik banget.
“ Sudah dibayar bu ? “. tiba2 tanya ke saya.
Suaranya keras banget, konon
katanya seseorang kalau ada gangguan pendengaran, pasti bicaranya
keras/banter kalau bicara pada orang lain, dipikir semua orang seperti dia.
Aduuh, telinga saya
masih baik2, kok beliau itu teriak2 dibelakang saya.
“ Belum,..” saya jawab, ngapain juga saya duduk disitu kalau
sudah dibayar.
“ Sudah lama ya bu ? “ , beliau teriak lagi.
“ Cukupan ..” saya jawab.
“ Apaa ? ,… “ , teriak lagi, tapi kali ini anaknya yang
njawab dan minta maaf pada saya.
“ Gimana itu kerjanya, pegawai jaman sekarang , nggak becus
semua,….dll, dsbnya etc
etc “ , dan masih banyak lagi yang lain.
Saya memandang anak saya yang berdiri tidak jauh , dan dia
cuma senyam-senyum saja.
Mungkin geli lihat mamanya kejebak lagi disituasi yang
konyol seperti itu.
Seorang bapak yang duduk disamping saya berbisik :
“ Dia itu
c-a-m-a-t lho,…” , saya kerutkan alis saya, tapi mengangguk
juga.
“ Iya, dia itu
c-a-m-a-t “, seolah menegaskan.
“ Oh , camat mana
ya ? “
saya tanya.
“ Iya , dia itu camat , -- Calon Mati !
, semua kita kan ya
Camat , Calon Mati ! “, dan dia
terkekeh –kekeh .
Eh , horror banget bapak itu.
Tapi pikir2, benar juga
-- para pensiunan banyak yang
sudah sakit2-an, stress lagi , jadi ya mau kemana lagi ? ,… ya
CAMAT,… hiii horror !
Caprib ( Catatan Pribadi ) :
Hidup yang berarti itu, adalah serentetan kesulitan dan
persoalan yang harus dicari jalan pemecahannya .
(
Davey Yohn Schwartz ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar