![]() |
Yang tidak pernah dewasa. Gambar:pyxis-edelweiss.blogspot.com |
Artini kelihatan masih tersedu , badannya tampak lusuh.
“ Pikirlah , sejak kami menikah, kami masih begini saja.
Joko kelihatan tambah enak2-an , bermalas-malasan , tidak ada usaha
samasekali “ , dia menopang dagunya
,memandang jauh , ada bekas2 air mata yang terhapus.
“ Tapi kau kan
kecukupan, tak kurang suatu apa – segalanya ada dan kukira lebih dari cukup “ ,
tanya saya keheranan.
Joko , suami Artini ,teman saya itu , adalah seorang
pengusaha dan berdomisili di Jakarta.
Dan sudah seminggu ini Artini kembali kekota tercinta ini ,
istilahnya p-u-r-i-k ( ngambek kembali kerumah ortunya di Surabaya ), tanpa keperluan yang pasti.
Artini berceritera, bahwa Joko yang direktur perusahaan itu
, ternyata hanya tukang bikin tanda
tangan saja.
Artinya apa2 sudah disiapkan
dan dia tinggal “ cap jempol “
alias manggut2 saja. Yang bekerja adalah ayah dan staf-nya, ayahnya pemilik
perusahaan besar itu.
Rumah tersedia , mobil tinggal pilih, duit tinggal nyomot
dan semua keperluan rumahtangga disediakan oleh ibu mertuanya , ibu Joko.
“ Lha terus apa urusannya sehingga kamu ngabur ke Surabaya ini ? “ saya
ingin tahu.
Dia memandang saya, menghela nafas , terus tunduk.
“ Joko samasekali tidak bisa mandiri, ada soal dikit dan
ringan saja,ah , hanya masalah kecil rumahtangga –dia harus konsultasi dulu
dengan ibunya. Beli ini itu harus bilang
– anak begini –begitu, harus lapor pada Mama …Mau pergi, alaah, ketoko deket
saja ,mesti juga harus pamit…. “, dia
menghapus mukanya.
“Emangnya kami ini ikut Hitler – diawasi dan dijaga terus ?
“ , saya tergelak.
“Rumah kamipun sehalaman dengan rumah utama , persis kayak
kamp NAZI “ , dia memandang saya ,karena saya rasanya geli dengan perumpaaannya
itu – pikir saya kok kayaknya dia pernah
masuk kamp-nya NAZI.
“ Aku serius Ti , aku sedih banget , sudah bosan hidup kayak
parasit begini – sampai sekarangpun Joko tak pernah lulus dari kuliahnya . Anak
kami sudah tiga dan dia tetap seperti anak kecil. Dia betul2 anak mama – Peter Pan
sejati yang tidak pernah jadi dewasa . Segalanya selalu dalam pengawasan ,
lindungan dan kemauan Mama “ , saya lihat dia tersedan.
Saya ingat bu Hendro, mertua Artini , adalah pribadi yang
baik – telaten- sabar dan selalu menuruti apa saja kemauan Joko, putra
tercintanya.
“ Mama sih terlalu baik pada Joko, sehingga dia enak
berlindung di belakang mamanya “, Artini seolah bisa menebak pikiran saya.
Untung saja keluarga Hendro , keluarga kaya raya. Mestinya
Joko yang sudah mendapatkan fasilitas begitu menggiurkan, bisa menempa dirinya
dan bukan malah enak2-an begitu saja.
“ Dengan fasilitas seperti itu, Joko malah ogah2-an - habis, semua sudah tersedia didepan hidungnya
! Aku ingin punya suami yang mandiri , tidak tergantung pada orang lain ,
meskipun itu ayahnya sendiri “ , dia meraih minuman, meneguknya dan mengelap
mulutnya dengan tissue, membetulkan duduknya dan menerawang jauh.
“ Mmmm ,.. sebaiknya kau terus terang saja pada bu Hendro –
dia orang baik kok, aku tahu itu – juga tentang harapanmu pada Joko – Kau
pernah bicara terbuka dan terus terang pada beliau ? “, saya tanya dia
“ Belumm , aku sebel sekali dengan mama dan Joko “ , ketus
dia berkata
“ Kamu itu ,… kalau kau diam saja , … mana mereka tahu ? “ ,
dia memandang saya.
“ Kau pikir mereka semua dukun peramal ya – tahu
keinginannmu, tanpa ada ungkapan kata “ ,
saya lihat Artini memandang saya , tiba2 dia tersenyum geli dan ketawa.
“ Oh , ya kaupun jangan ikut2-an melempem kayak Joko – kamu
dulu kan
lumayan ,pinter dan aktif juga. Kok
sekarang malah kayak orang bengong – dan pasip
“ saya ungkit jaman tempo doeloe
kami.
Sesama rekan Artini termasuk
“ bintang “ dalam beberapa hal , rupanya ke mapan an membuat dia lengah.
“ Kamu kan bisa memicu semangat Joko – kamu aja yang
bergerak aktif- masuk aja diperusahaan pak Hendro – minta ijin magang disitu –
kalau Joko tahu- siapa tahu dia terpicu dan mau selesaikan kuliahnya dan
“bekerja “ sebenarnya ? , - dan kaupun
punya gawean , tidak selalu menyalahkan orang lain melulu
atau kabur2 tak jelas “ saya
tantang dia.
Sebelum pamit kami saling berpelukan , dia berbisik lembut – ya , semoga berhasil kawan.
Capprib ( Catatan
Pribadi ) :
Seorang optimis melihat kesempatan dalam setiap malapetaka ,
sedang seorang pessimis melihat malapetaka dalam setiap kesempatan.
(
anonymous )