Rabu, 20 Juni 2012

Joged BUMBUNG -kah Striptease Tradisional Kita ?


Joged Bumbung. Gambar:museum-pasifika.com
Beberapa waktu yang lalu, saya menulis tentang goyang Candoleng-Doleng  dari Makasar yang cukup heboh itu.
Dari beberapa komen yang saya terima, ternyata bahwa ada lagi tarian/joged/goyang yang sejenis dari Bali.
Karena penasaran, tapi saya  gaptek ,  jadi saya minta tolong anak saya untuk mencarikan tarian/gaya itu di Internet , seperti apa sih.

Ternyata namanya Bumbung dan berasal dari Bali.
Hal itu bisa dilihat dari busana penarinya dan irama yang mengiringinya.
Situasinya tak berbeda jauh dari Candoleng-Doleng., hiruk-pikuk.
Tetapi jika Candoleng-Doleng, penyanyinya membuka busana bagian depan atas dan celana  bagian depannya.
Bumbung samasekali tidak membuka busananya , tetapi gerakannya amat erotis dinamis.

Busana bawahnya sebuah gaun panjang dan agak terbuka/tersingkap  bagian depannya.
Dan kala dia menari dan bergoyang, kemudian melakukan kayang, gaun bawahnya tersingkap lebar.
Ternyata tampak kalau dia tidak memakai celana dalam alias bugil.
Suasananya juga riuh rendah dan ditonton oleh masyarakat umum, laki-laki,wanita , dewasa dan anak-anak.
Merekapun asyik menikmati tontonan itu dengan ketawa-ketiwi yang ,… gimana gitu.
Tidak terlihat ada saweran, tetapi ada satu dua pria yang maju di arena dan mengikuti gaya si-penari dengan tidak kalah vulgarnya.

Sebenarnya Bumbung adalah sebuah tarian tradisionil dan tidak se-seronok itu.
Seorang Maerstro Tari Bali, Made Lamun  ( 80 tahun ) , mengatakan jika Bumbung adalah tari pergaulan.
Berasal dari daerah agraris, sehabis panen untuk merayakan keberhasilan panen yang melimpah, mereka mengadakan syukuran dengan pesta tari2-an.
Tari itu berasal dari  paduan Tari Gandrung Banyuwangi dan Jangger Bali..

Made Lamun sendiri mengatakan, melihat perkembangan Bumbung yang melenceng jauh itu amat meresahkan dan menyedihkan .
Tari Bumbung yang sekarang  begitu merebak dan tampak makin liar menjalar kemana-mana, lebih  vulgar  ,atraktif dan agresif  tak terkendali.
Bahkan bukan dilakukan oleh penari didikan sanggar, tetapi seadanya , konon bahkan ditarikan oleh para gigolo atau  “ pemandu wisata “ gadungan.
Betul-betul menjatuhkan citra dan martabat penari Bumbung asli  secara keseluruhan.

Kalau itu dikatakan sebagai ajang suka-suka bagi masyarakat, pasti sah-sah saja.
Tetapi kalau sudah terkesan berlebihan dan tidak terkendali, pasti timbul ekses yang kurang nyaman.
Konon, setiap manusia itu memang  mempunyai sisi liar dalam tubuhnya.
Dan ada manusia yang pandai mengendalikan  sisi  liar itu  tetapi  ada yang lepas kendali.
Tetapi kadang ada yang angin2-an, kadang bisa mengendalikan, tetapi kadang kumat dan lepas kendali juga.
Keadaan ini terjadi jika dia mendapat rangsangan yang  pas  disaat yang tepat pula.
Biasanya dia akan lepas kendali bila mendapat rangsangan dan tantangan dari luar.
Bisa zat2 adiktif , termasuk minuman menambah stamina, irama/gendang yang menghentak, agresif membuai, romantisme yang menggairahkan  dan juga erotisme yang mengundang.
Itulah rupanya yang di “ pancing “ ditengah arena dinamis yang memukau seperti itu

Dan  jika ada  prilaku liar yang terjadi, pasti ada yang tersakiti.
Bisa perasaan  manusia , bisa juga adat setempat yang sacral dan dihormati atau dihargai.
Seyogyanya sebagai bangsa yang beradab dan ber –etika , : Agama , social dan juga Undang- Undang Negara , kita harus wajib untuk menghentikan atau memperhalus perilaku2 liar seperti  tersebut.
Menjadi  suatu acara yang santun dan enak dilihat dan dinikmati , serta tidak menyakiti perasaan siapapun atau  fihak mana saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar