Jumat, 10 Agustus 2012

Pejuang Sejati Tanpa Pamrih

Para pejuang arek2 Suroboyo. Gambar:iwandahnial.wordpress.com
Karena perlu buku , saya beserta suami dan anak sore itu pergi.
Suami yang pegang stir , dan berhenti disebuah toko buku besar.
Pak tukang parkir memberikan tanda mencarikan  tempat dan mulai aba-aba.
Sepertinya suami memperhatikan sesuatu ,  malah kearah tukang parkir itu :
“ Opo pa  ?  ( Ada apa  pa ?  ) “, saya tanya, ikut memperhatikan tukang parkir itu pula.
“ Kok koyok … Bakri  ( Kok seperti … Bakri ) … “ , dia berkata agak sedikit ragu, tapi terus memperhatikan tukang parkir itu.

Tukang parkir itu kaget ketika suami menyapa , dan saya lihat suami memeluk dia.
Rasanya dia malah risih , bingung dan salah tingkah  (ewuh pakewuh :Jw )
Sayapun diperkenalkan, ternyata pak tukang parkir itu adalah betul pak Bakri, rekan seperjuangan suami di medan  “ inferno “ Surabaya tempo doeloe melawan Sekutu.

Sesudah saya selesai dengan buku2 saya dan anak saya , saya lihat suami masih duduk omong2 di pos penjagaan dengan pak Bakri.
Saya ganti yang nyetir pulang bersama anak saya, sementara suami masih tinggal  ber nostalgia dengan rekannya.

Ternyata  beliau , pak Bakri itu  punya hubungan erat dengan keluarga suami.
Sebagai  seorang perantau dari Palembang, dan ditampung dirumah  keluarga suami.
Pribadinya baik , santun dan bersahabat.
Dan betul2 menjadi sobat suami kemanapun dia pergi .

Waktu itu clash peperangan mulai terjadi , keadaan sudah memanas.
Dan karena rumah keluarga suami ada didaerah Surabaya Utara , yang selalu menjadi lintasan yang membahayakan .
Yang  selalu terkena imbas dari saling silang yang mendebarkan itu.
Terlebih rakyat dan pemuda Surabaya tidak rela tanah air  kita diinjak lagi oleh Belanda.penjajah.
Belanda  yang mbonceng pada Sekutu , yang mencari sisa-sisa tentara2 Jepang yang menyelusup disana-sini.

Pasti  , bentrokan tidak bisa dielakkan, dan rakyatpun menyambut datangnnya musuh dengan  semangat gagah berani, sengit dan fanatik
Suami dan pak Bakri-pun ikut dalam kancah pertempuran yang tidak seimbang itu .
Lasykar rakyat yang seadanya , yang banyak pakai bambu  runcing  itu terus dipukul mundur oleh jagoan2 dari Perang Dunia kedua , dengan persenjataan canggih saat itu.

Terjadi dua kali pertempura hebat  melawan Inggris/Sekutu di  medan  Surabaya :
** Terjadi 3 malam dan 2 hari  mulai pada tgl. 28 October 1945, pertempuran 60 jam.
** Terjadi 21 hari atau 500 jam , mulai tgl.10 Nopember 1945 – permulaan Desember 45.
Korban ribuan dan yang banyak jatuh dari fihak rakyat.

Surabaya dibombardir  dengan dahsyat dari laut, darat dan udara, dan penduduk Surabaya semburat lari kocar-kacir keluar kota kearah Wonokromo, menyebar kesegala penjuru.
Dapur2 umum didirikan untuk mensuply konsumsi garis depan
Dan pak Bakri dengan rekan2-nya ini berjibaku  yang mengawal “amunisi” bagi pejuang garis depan.
Berapa kali nyawanya diujung tanduk, dikejar oleh bom2  atau peluru yang nyasar menggila , menjungkir balikkan segalanya.

Kemudian  Sekutu mengeluarkan ultimatum membumi hanguskan Surabaya, tanpa syarat , harus tekuk lutut ,  karena kematian BrigJen Mallaby yang terbunuh di Surabaya.
Mereka mendatangkan bantuan dari Batavia, menambah personil dan peralatan perangnya, termasuk penambahan pesawat udaranya menjadi 20 buah.
Surabaya dihentak dengan gemuruh dan keadaan gegap gempita.
Kematian membayang dimana-mana , kepedihan mencengkeran setiap insan.
Pasukan2 “arek 2 Suroboyo “ yang terus dikejarpun lari menghindar.
Ibu mertua kearah Mojokerto, suami masih berkeliaran sekitar Surabaya , hit and run dengan musuh , dan pak Bakri kedaerah Sidoarjo .
Mereka berpisah , tidak saling mengerti nasip masing-masing.

Sesudah lama merdeka dan suami ditugaskan di Palembang , kitapun menemui pak Bakri.
Beliau tetap sederhana, sesederhana dahulu waktu masih “ngalor-ngidul” dengan suami.
Rumahnya disebuah rumah panggung kecil dan keluarganya mengelola sebuah warung ,usaha kecil di 16 ilir Palembang atau bekerja seadanya.
Ketika diberitahu bahwa beliau berhak atas dana yang diberikan Pemerintah, meskipun sedikit ,beliau menolak.
Sepertinya peristiwa “besar” di Surabaya, perjuangan hidup dan mati, adalah merupakan baktinya beliau pada Negara, tidak mengharap balasan.
Beliau hanya  mengharap agar , generasi mendatang tidak me-nyia2-kan perjuangan para pahlawan yang gugur dimedan laga.
Seorang pejuang sejati tanpa pamrih , memang  hanya seorang pejuang kecil tetapi berhati besar dan mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar