Senin, 21 Mei 2012

Wanita: Sahabat dan Simpati


Persahabatan. Gambar:kosmo.vivanews.com
  Mas Jadi meninggal   “ , tiba2 suami saya berkata.

Saya kaget , terdiam dan seolah tidak percaya.

Beberapa hari yang lalu, kita masih jalan bareng  bersama , mas Jadi memang punya keluhan jantung , meski kelihatan sehat.

Mas Sujadi adalah suami mbak Tuti , rekan sekantor suami , dan mbak Tuti merupakan sahabat  dekat  saya.

Mbak Tuti sesungguhnya  memang profil seseorang yang menyenangkan.

Sifatnya terbuka, blak2-an , santai , suka humor , tidak  tinggi hati ,  dan akrab.

Karena tugas dan pekerjaan masing2 , maka  hidup suami isteri itu selalu terpisah, tidak sekota. , bahkan lain propinsi.

Tetapi saya lihat kehidupan mereka sekeluarga rasanya baik2 dan akrab.

Keluarga itu amat akrab dengan keluarga saya , sehingga seperti saudara saja.

Sering kami pergi bersama dan beraktifitas bersama pula., jika kebetulan mas Jadi ada.



Hari2 setelah musibah mengejutkan  itu terjadi, saya bingung  merasakan perasaan saya, sedih , kasihan , trenyuh dan tidak mengerti harus bagaimana.

Saya lihat mbak Tuti begitu tabah dan tegar dalam menghadapi segala aral yang melintang dalam hidupnya.

Sejak ditinggal suaminya, mbak Tuti sering mengundang saya untuk menemaninya dirumah dinasnya.

Kompleks rumah dinas itu tidak seberapa jauh dari rumah saya , hanya berjalan kaki saja tidak sampai 15 menit.

Saya bisa sering datang bahkan sampai malam menemaninya , jika dia rasanya sedih         ( nglangut : Jw ) mengingat suaminya.



Tetapi lama kelamaan , betapa tabah hati wanita itu , lama2 saya melihat banyak perubahan yang terjadi dalam perangainya.

Kegairahan dalam hidup amat berkurang , dia kelihatan makin acuh seharian.

Jarang tertawa , seperti kebiasaannya dahulu , jika kita bersenda dan berseloroh.

Dandanannya yang dahulu selalu rapi dan indah , mulai acak.

Sepertinya dia juga sudah  mulai malas  bermake-up

Saya sedih sekali melihat seorang sahabat yang “ patah semangat “ seperti itu.

Putra/i mereka masih  amat membutuhkan  kasih sayang , perhatian dan bimbingannya.



Saya janji kerumahnya , sesudah dia mengabari kalau dia lagi sedih , hari2 berat.

Sesudah makan malam , saya jalan kerumah dinasnya , sepi sekali keadaannya.

Ketika melihat saya datang, disambut dengan hangat , kelihatan dia baru menangis.

Kami bicara sampai malam , diruang tamunya dan terasa amat sepi.

Dahulu, kami berempat , mbak Tuti dan suaminya dan saya dengan suami kadang bertamu dan ngobrol “ gayeng “ diruang itu dengan santai.



“ Kadang kalau kita bilang kita tambah umur, sebetulnya umur kita itu berkurang , kita kehilangan umur kita  “, saya berkata, dia memandang saya .

“ Kehilangan itu tidak saja pada umur, tetapi segalanya dalam kehidupan ini . Pada orang2 terdekat ,  juga dengan sahabat2  dikehidupan kita . “ , dia mengelap air matanya.

“Kita  juga akan selalu kehilangan orang2 yang kita cintai ,  - ayah , ibu  orangtua kita, keluarga yang lain, sahabat kita , rekan sekerja bahkan … juga suami “  dia tertunduk.



Kelihatan dia menyeka matanya sekali lagi , minum air  putih yang tersedia   :

“ Ya  aku mengerti, sepenuhnya mengerti, tetapi aneh., rasanya antara  perasaan ini dan ratio tidak bisa ketemu, tidak bisa sejalan “  dia memandang saya, sedih sekali mimiknya.

Dia menghela nafas panjang , mengelap mukanya .

“ Perhatiannya, pengertian dan simpatinya rasanya sulit aku  hilangkan.

Dia selalu ingin membuat aku bahagia dan senang , meskipun aku tahu itu melelahkan, dan menyita banyak waktunya , dia kan juga punya sakit jantung.

Tapi  dia selalu memberi dorongan dan sugesti padaku untuk tetap tegar ,tabah dan terus bekerja. Rumah inipun dahulu dia yang menata, agar aku kerasan dan gampang menjalankan  tugas dan kehidupan disini. Dan dia selalu baik , juga pada anak-anak . Bagaimana aku bisa lupa ? “ seolah dia bertanya pada dirinya.



“ Tetapi bagaimanapun, kita harus ikhlas menjalaninya , karena begitulah  kehidupan ini.

Ada masa-masa bertemu dan ada juga masa berpisah, itu sudah jalan hidup manusia.

Dan manusia harus tabah bisa menghadapinya …” , saya agak tersendat mengucapkan kata2 itu, rasanya ada yang runtuh dihati ini.

“ Jadi mau tidak mau ,  kita memang  harus rela melepasnya  “ , kami saling berpandangan.

Sejenak kita termenung dan hanyut dalam pikiran masing-masing.

Ketika saya berpamitan, hari  sudah cukup malam, jam sepuluh lebih , kami berangkulan.

Saya memejamkan mata ,….semoga tabah sahabat.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar