Senin, 25 Februari 2013

Sang Peter Pan Yang Lain


Yang tidak pernah dewasa. Gambar:pyxis-edelweiss.blogspot.com

Artini kelihatan masih tersedu , badannya tampak lusuh.
“ Pikirlah , sejak kami menikah, kami masih begini saja. Joko kelihatan tambah enak2-an , bermalas-malasan , tidak ada usaha samasekali  “ , dia menopang dagunya ,memandang jauh , ada bekas2 air mata yang terhapus.
“ Tapi kau kan kecukupan, tak kurang suatu apa – segalanya ada dan kukira lebih dari cukup “ , tanya saya keheranan.

Joko , suami Artini ,teman saya itu , adalah seorang pengusaha dan berdomisili di Jakarta.
Dan sudah seminggu ini Artini kembali kekota tercinta ini , istilahnya   p-u-r-i-k  ( ngambek kembali  kerumah ortunya di Surabaya ), tanpa keperluan yang pasti.
Artini berceritera, bahwa Joko yang direktur perusahaan itu , ternyata  hanya tukang bikin tanda tangan saja.
Artinya apa2 sudah disiapkan  dan dia tinggal  “ cap jempol “ alias manggut2 saja. Yang bekerja adalah ayah dan staf-nya, ayahnya pemilik perusahaan besar itu.

Rumah tersedia , mobil tinggal pilih, duit tinggal nyomot dan semua keperluan rumahtangga disediakan oleh ibu mertuanya , ibu Joko.
“ Lha terus apa urusannya sehingga kamu ngabur ke Surabaya ini ? “ saya ingin tahu.
Dia memandang saya, menghela nafas , terus tunduk.
“ Joko samasekali tidak bisa mandiri, ada soal dikit dan ringan saja,ah , hanya masalah kecil rumahtangga –dia harus konsultasi dulu dengan ibunya.  Beli ini itu harus bilang – anak begini –begitu, harus lapor pada Mama …Mau pergi, alaah, ketoko deket saja ,mesti juga harus pamit…. “,  dia menghapus mukanya.

“Emangnya kami ini ikut Hitler – diawasi dan dijaga  terus ?  “ , saya tergelak.
“Rumah kamipun sehalaman dengan rumah utama , persis kayak kamp NAZI “ , dia memandang saya ,karena saya rasanya geli dengan perumpaaannya itu –  pikir saya kok kayaknya dia pernah masuk kamp-nya NAZI.
“ Aku serius Ti , aku sedih banget , sudah bosan hidup kayak parasit begini – sampai sekarangpun Joko tak pernah lulus dari kuliahnya . Anak kami sudah tiga dan dia tetap seperti anak kecil. Dia betul2 anak mama – Peter Pan sejati yang tidak pernah jadi dewasa . Segalanya selalu dalam pengawasan , lindungan dan kemauan Mama “ , saya lihat dia tersedan.

Saya ingat bu Hendro, mertua Artini , adalah pribadi yang baik – telaten- sabar dan selalu menuruti apa saja kemauan Joko, putra tercintanya.
“ Mama sih terlalu baik pada Joko, sehingga dia enak berlindung di belakang mamanya “, Artini seolah bisa menebak pikiran saya.
Untung saja keluarga Hendro , keluarga kaya raya. Mestinya Joko yang sudah mendapatkan fasilitas begitu menggiurkan, bisa menempa dirinya dan bukan malah enak2-an begitu saja.

“ Dengan fasilitas seperti itu, Joko malah ogah2-an -  habis, semua sudah tersedia didepan hidungnya ! Aku ingin punya suami yang mandiri , tidak tergantung pada orang lain , meskipun itu ayahnya sendiri “ , dia meraih minuman, meneguknya dan mengelap mulutnya dengan tissue, membetulkan duduknya dan menerawang jauh.
“ Mmmm ,.. sebaiknya kau terus terang saja pada bu Hendro – dia orang baik kok, aku tahu itu – juga tentang harapanmu pada Joko – Kau pernah bicara terbuka dan terus terang pada beliau ? “, saya tanya dia
“ Belumm , aku sebel sekali dengan mama dan Joko “ , ketus dia berkata
“ Kamu itu ,… kalau kau diam saja , … mana mereka tahu  ?  “ , dia memandang saya.

“ Kau pikir mereka semua dukun peramal ya – tahu keinginannmu, tanpa ada ungkapan kata “ ,  saya lihat Artini memandang saya , tiba2 dia tersenyum geli  dan ketawa.
“ Oh , ya kaupun jangan ikut2-an melempem kayak Joko – kamu dulu kan lumayan ,pinter  dan aktif juga. Kok sekarang malah kayak orang bengong – dan pasip  “ saya ungkit jaman tempo doeloe  kami.
Sesama rekan Artini termasuk  “ bintang “ dalam beberapa hal , rupanya ke mapan an membuat dia lengah.
“ Kamu kan bisa memicu semangat Joko – kamu aja yang bergerak aktif- masuk aja diperusahaan pak Hendro – minta ijin magang disitu – kalau Joko tahu- siapa tahu dia terpicu dan mau selesaikan kuliahnya dan “bekerja “ sebenarnya ?  , - dan kaupun punya gawean , tidak selalu menyalahkan orang lain  melulu  atau kabur2 tak jelas  “ saya tantang dia.
Sebelum pamit kami saling berpelukan ,  dia berbisik lembut –  ya , semoga  berhasil kawan.


Capprib  ( Catatan Pribadi ) :
Seorang optimis melihat kesempatan dalam setiap malapetaka , sedang seorang pessimis melihat malapetaka dalam setiap kesempatan.
                ( anonymous )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar